Saudara K.H. Imam Jazuli, Lc., M.A. (IJ), tokoh muda NU yang juga alumni Pondok Pesantren Lirboyo, Kediri dan Pengasuh Pondok Pesantren Bina Insan Mulia, Cirebon, cukup menarik dan menyita perhatian, terutama bagi kader kultural NU yang sedang maupun yang pernah aktif di HMI. Dikotomi HMI PMII yang diusung IJ jelang Muktamar NU ke 34 yang akan digelar di Lampung pada 23 25 Desember 2021 cukup “mengusik” banyak kalangan. Betapa tidak, di hampir semua daerah, banyak kader HMI yang juga “berdarah” NU.
Demikian pula, banyak pengurus atau anggota Korps Alumni HMI (KAHMI) yang juga menjadi pengurus NU baik di PBNU, PWNU, PCNU, PCINU, MWCNU, PRNU dan PARNU. Termasuk di lembaga lembaga yang berada di bawah naungan NU seperti LAZIZNU, Lakpesdam, Lesbumi dan lain lain. Di kalangan HMI, tak terbilang kader NU yang banyak diasuh di HMI dan mereka menjadi pemimpin, intelektual dan politisi berpengaruh seperti Mahbub Junaedi, Nurcholish Madjid, Hasyim Muzadi, Mahfud MD, Helmi Faisal Zaini, Yahya Cholil Staquf, Syaifullah Yusuf, Nusron Wahid, Anas Urbaningrum, dan banyak lagi yang lainnya. Selain secara kultural NU, Anas Urbaningrum adalah menantu KH Attabik Ali, putra tokoh besar NU, KH Ali Maksum yang juga pendiri pondok pesantren Al Munawwir, Krapyak, Yogyakarta.
Anas Urbaningrum menjabat Ketum PB HMI saat saya Ketua Badko HMI Jawa Bagian Barat. Secara kuantitatif maupun kualitatif, banyak kader NU yang mengalami proses perkaderan di HMI. Umumnya mereka sangat menonjol dan tertempa baik dari sisi kemampuan kepemimpinan maupun intelektual.
Pengalaman berkeliling di berbagai Majelis Daerah KAHMI Kabupaten Kota se Jawa Barat, umumnya kader HMI berlatar belakang NU ketimbang Muhammadiyah, Persis atau ormas Islam lainnya. Apalagi di Muhammadiyah sudah ada Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM), di Persis sudah ada Himpunan Mahasiswa Persis (Hima Persis). Begitu juga ormas ormas Islam lainnya sudah banyak berdiri organisasi kemahasiswaan. Praktis, secara kuantitatif, mayoritas kader HMI justru berasal dari NU.
Sebagai jamiyyah, NU tidak akan berkembang bila cara berfikirnya masih mendikotomikan kader HMI PMII, padahal mereka sama sama lahir dari rahim NU. Bila cara berfikir dikotomis ini dikembangkan dalam kontestasi struktural NU, ormas Islam terbesar yang didirikan Hadratusy Syaikh KH. Hasyim Asy'ari itu akan selalu terjebak dalam konflik rutin yang tak berujung. Selain itu, NU akan mengalami kerugian besar yakni gelombang brain drain NU: pelarian intelektual terbaiknya ke entitas entitas lain.
Justru kalau merangkul mantan aktivis HMI dan PMII ke dalam rumah besar NU, NU akan menjadi kekuatan civil society yang makin solid, kuat dan semakin diperhitungkan. Selain akan mencitrakan NU sebagai konsolidator ukhuwwah Islamiyyah dan friendly terhadap semua kadernya yang "mencari ilmu dan pengalaman" di banyak tempat justru akan memperkuat posisi NU. NU justru harus berterima kasih kepada HMI, karena kadernya banyak ditempa di organisasi kemahasiswaan terbesar di Indonesia itu.
Pandangan dikotomis HMI PMII mengandung banyak kerugian tidak saja bagi NU, tetapi juga bagi bangsa ini: Pertama, pandangan ini cenderung memukul daripada merangkul. Membelah bukan mempersatukan. Melemahkan bukan memperkuat. Pandangan ini juga mengingkari prinsip dakwah dan tidak sesuai dengan prinsip ukhuwwah Islamiyyah, dan sila Pancasila, Sila Ketiga “Persatuan Indonesia". Kedua, merusak kohesi dan integrasi Nasional. Alih alih menjadi pemersatu semua anak bangsa dengan perbedaan suku, agama dan bahasa, mengelola perbedaan kecil internal saja, tak mampu mengkonsolidasi.
Begitulah kesan yang akan timbul di memori publik, bila pandangan sempit ini mendominasi cara pandang muktamirin. Ketiga, akan muncul rasa alienasi pada kader NU yang pernah aktif di HMI. Sikap "penganaktirian" ini akan menjadi "konflik bawaan" yang tidak produktif bagi masa depan NU dan bangsa.
Performa sosio kultural dan ‘politik’ NU yang cacat bawaan ini akan merusak citra NU dan menyempitkan perannya sebagai kekuatan civil society terbesar di Indonesia. Karena "DNA" kader HMI PMII itu sama sama NU, hanya karena berbeda lingkungan pengasuhan, mereka mengalami diskriminasi. Padahal peran kader NU di HMI justru sedikit banyak telah meng NU kan kader kader organisasi yang didirikan Lafran Pane itu, minimal terjadi “silang budaya” yang mutually inclusive.
Keempat, dikotomi HMI PMII akan makin mengerdilkan NU. NU adalah ormas keagamaan besar, tidak saja di Indonesia, tapi juga di Dunia. Pandangan sempit ini tak perlu diwarisi oleh generasi muda NU. Pandangan IJ ini bersifat kontraproduktif, provokatif dan cenderung memelihara rivalitas yang memecah belah.
Tentu, tak elok bagi masa depan “wihdatul ummah” yang banyak didambakan ummat. Kelima, dari perspektif sesama Muslim, NU akan kehilangan fungsinya sebagai rumah besar ummat Islam. NU akan terdegradasi hanya menjadi milik "kaum strukturalis NU" dan pada saat yang sama menafikan bahkan memarginalkan "kaum kultural NU" yang justru banyak perannya dalam membimbing ummat dan membesarkan jamiyyah ini sejak berdiri pada 1926.
Hemat saya, sikap terbaik dalam menghadapi momentum Muktamar NU ke 34 ini mestinya menyambut secara hangat semua kader terbaik NU yang "berdiaspora" ke berbagai entitas gerakan mahasiswa itu ke pangkuan rumah besar NU. Selain menjadi ajang reuni, Muktamar NU ke 34 ini juga menjadi momentum konsolidasi kekuatan kultural NU. Momentum Muktamar NU di penghujung tahun ini mempersatukan, bukan membelah! Hidup HMI, Bravo PMII!